DPC GMNI Mamuju; Suara Kebenaran di Bungkam dengan Tindakan Kriminalisasi 

Mamuju, nuansa.info – Momentum Hari Tani Nasional yang diperingati oleh seluruh Rakyat Indonesia setiap tahunnya juga secara khusus diperingati oleh semua element masyarakat yang ada di Provinsi Sulawesi Barat dengan membentuk suatu wadah gerakan yang bernama Aliansi Masyarakat Pejuang Reforma Agraria atau yang disingkat menjadi AMPERA.

Ampera membawa Gand Issue Nasional mengenai persoalan Reforma Agraria dan persoalan penggusuran yang dialami masyarakat adat yang ada di Rempang.

Selain 2 Grand Issue Nasional, AMPERA juga membawa 20 isu daerah yang menjadi tuntutan kepada pemerintah. Salah satu diantaranya ialah terkait rencana pembangunan PLTA PT.DND Hydro Echo Power yang akan di bangun di DAS Karama.

Kami dari DPC GMNI Mamuju sangat menyayangkan adanya respon yang tidak substantif dan intelektual dari Pj Gubernur Sulawesi Barat.

Dengan respon yang tidak substantif tersebut, Masyarakat di Bungkam dengan di Kriminalisasi

Hal tersebut sungguh jauh dari apa yang menjadi harapan dan tuntutan yang dibawa oleh massa aksi, seharusnya Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat merespon dengan baik bukan dengan melaporkan massa aksi ke kantor kepolisian.

Toh tindakan yang dilakukan oleh massa aksi dari AMPERA merupakan reaksi dari respon Pemprov Sulawesi Barat.

Setidaknya harus diketahui bahwa ada empat hal yang mendorong sehingga AMPERA mengambil langkah alternatif tersebut, yaitu sebagai berikut :

Pertama, pihak Pemprov Sulbar tidak ada yang mau menemui dan keluar untuk mendengarkan tuntutan dari massa aksi AMPERA.

Kedua, terjadi upaya pembohongan publik yang dilakukan oleh pihak perwakilan negosiator dari Pemprov Sulbar sehingga memicu meningkatnya emosi massa.

Ketiga, adanya upaya pembiaran yang dilakukan oleh pihak aparat keamanan selama kurang lebih 2 jam saat massa aksi mendorong salah satu pintu pagar gerbang, bahkan tindakan yang dilakukan oleh aparat keamanan dilokasi aksi hanya sekedar mengambil gambar dan video selama massa aksi melakukan hal tersebut.

Keempat, adanya upaya provokasi dari oknum aparat keamanan yang mendukung massa aksi agar harus merobohkan salah satu pintu pagar gerbang Kantor Gubernur Sulbar jika ingin masuk kedalam pekarangan.

Kelima, karena adanya aturan terkait SOP pelarangan massa aksi untuk masuk didalam pekarangan Kantor Gubernur Sulbar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *