MAJENE, NUANSAINFO.COM — Wakil Ketua II DPRD Majene, Adi Ahsan ingin berkantor selama dua bulan di RSUD Majene.
Legislator Partai Golkar ini melayangkan surat pada bupati untuk difasilitasi ruangan kerja di RSUD Majene. Surat permohonan itu dikirim sejak 27 Januari lalu.
Adi mengatakan, permintaan ruang kerja itu bertujuan mengoptimalkan fungsi pengawasan di bidang kesehatan.
Apalagi beberapa waktu lalu, terjadi insiden pasien meninggal dunia di RSUD yang diduga akibat keterlambatan pelayanan kesehatan.
“Alasan pertama, kasus kemarin (pasien meninggal dunia), ini kasusnya terus berulang-ulang,” jelas Adi Ahsan, Senin (3/2/2020).
Namun niatan baik ini nampaknya tak mendapat respon positif beberapa pihak. Bahkan Adi Ahsan mencurigai sejumlah anggota DPRD Majene mencoba menghalangi rencana tersebut.
Ia pun sangat menyayangkan hal tersebut. Mengingat gagasan ini sangat penting untuk merekonstruksi pelayanan kesehatan. Sehingga dapat optimal untuk masyarakat Majene.
“Ada indikasi internal DPRD sendiri yang mau menghalangi saya berkantor disana, ada apa?. Sepertinya menghalang-halangi dalam bentuk tidak setuju kalau saya berkantor disana. Padahal ini untuk kebutuhan kita semua,” ujarnya.
Legislator peraih suara terbanyak pada Pileg 2019 ini berharap, usulan ini tak dimaknai untuk mencari kesalahan di RSUD Majene. Melainkan untuk menemukan faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan.
“Saya ini tidak mungkin mau repot-repot berkantor disana kalau pemerintah punya komitmen untuk memberikan pelayanan yang baik pada publik,” katanya.
Tak hanya itu, banyak hal yang dapat dipantau jika usulan ini terwujud. Seperti pantauan efisien dan efektivitas tenaga honorer di RSUD Majene.
Kata Adi Ahsan, jumlah honorer di RSUD saat ini hampir mencapai 600 orang. Tak beda jauh dengan RSUD yang ada di Kota Sumedang.
Kondisi ini kontras dengan jumlah penduduk dua wilayah tersebut. Majene hanya memiliki penduduk berkisar 171 ribu, sementara Sumedang mencapai 1,4 juta. Tapi jumlah tenaga sukarela di RSnya nyaris seimbang.
“Pertanyaannya apakah itu menjadi masalah di RS?. Jangan sampai terlalu banyaknya honorer sehingga kita tidak bisa membuat kebijakan tenaga kontrak organik. Harusnya (tenaga organik) ada di RS untuk menunjang kegiatan pelayanan,” ucapnya.
Sisi lain yang dapat dipantau yakni persentase honorer yang tidak memiliki SK bupati. Informasinya terdapat 80 persen honorer yang tidak dibiayai oleh daerah lantaran tak memiliki SK bupati.
“Itu mau kita cari tau, apakah itu benar atau tidak. Kalau itu benar tentu akan mempengaruhi pelayanan di RS,” ujar Adi Ahsan.
“Jangan semata kita melihat bahwa kita mau berkantor disana, mau menyerang. Itu namanya orang yang parno terhadap kekuasan dan anti kritik,” pungkasnya. (red)
kok kesannya jadi lebay yah sampai berkantor di rsu, cukup kontrol dgn lebih baik, jangan jadi kesannya di paksakan gitu, yg ada malah lu dikira nyari nama,,,